Jazaul Khoeroh (Bagian ke-2)

Oleh Zulmasri

jazaulYang pasti ini bukan cerita fiksi yang memiliki bagian-bagian. Ini adalah kelanjutan kisah dari seorang anak didik saya di sebuah SMP daerah pebukitan, tepatnya di SMP Negeri 2 Talun.

Bagi yang belum mengenal lebih jauh tentang anak didik yang saya bicarakan ini, ada baiknya diklik di sini. Bagi yang masih ingat tentang Jazaul, kita lanjutkan saja ceritanya.

Setidaknya lanjutan ini juga terinspirasi dari tulisan rekan saya, Bahtiyar Zulal. Apalagi di akhir pertemuan saya dengan Jazaul, kesan saya terhadap anak didik saya ini begitu kuat.

Saya terakhir bertemu dengannya 20 Juni 2009, yakni saat pengumuman kelulusan. Bila pada cerita sebelumnya saya bercerita tentang ketidaklulusannya saat try out, maka lain halnya pada saat pengumuman kelulusan. Jazaul benar-benar menunjukkan jati dirinya sebagai anak yang cerdas. Ia memperoleh nilai tertinggi dan lulusan terbaik. Nilai mata pelajarannya mendekati sempurna.

Sebagai lulusan terbaik, sudah tentu pengumuman itu disambut Jazaul dengan suka cita. Namun pada saat bertemu, justru kesan suka cita itu seolah mengabur, berganti duka di wajahnya. Saat bersalaman terakhir kali dan menanyakan akan melanjutkan ke sekolah mana,duka itu kian mengambang jelas di matanya.

Pada saat itu ia memang tak menjawab. Dari teman-temannya, saya mengetahui bila ia tidak melanjutkan sekolahnya. Kemiskinan adalah faktor utama yang menjadikan ia tak mampu melanjutkan cita-cita yang mungkin pernah dipunyainya.

Saya jadi teringat dengan para caleg dan capres saat kampanye. Betapa dunia pendidikan ikut disorot sebagai salah satu program yang mendapat prioritas. Namun bila mengingat apa yang terjadi pada diri Jazaul, saya jadi bimbang, ragu, dan skeptis terhadap kampanye tersebut.

DSC00415

Selain masih banyaknya warga masyarakat yang miskin, persoalan transportasi juga menjadi kendala utama bagi anak-anak lulusan SMP 2 Talun yang ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi. Sekolah lanjutan Atas paling dekat dengan SMP Negeri 2 Talun adalah SMAN Talun yang jaraknya tak kurang dari 10 km. Semenjak saya mengajar di SMP 2 Talun tahun 2005 lalu, hingga kini belum ada transportasi untuk umum ke SMAN Talun yang terletak di ibu kota kecamatan. Jalanan memang sudah diaspal (walau banyak lobangnya), penuh dengan tanjakan dan turunan yang curam. Saya tidak tahu pasti, apakah medan yang lumayan berat itu yang menjadi tiadanya alat transportasi. Yang pasti, bila ingin melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, lulusan SMP 2 Talun harus memiliki minimal sepeda motor, atau nge-kost. Dua pilihan yang tentu saja butuh biaya. Belum lagi untuk biaya sekolah tentunya.

Itulah, dengan kondisi keluarga kurang mampu, Jazaul tidak mampu melanjutkan sekolahnya.

Mungkin cerita tentang Jazaul, anak yang memiliki kemampuan berpikir yang lebih baik dibanding teman-temannya tapi dengan kondisi kurang beruntung, tidaklah sekali dua kali kita dengar. Hampir saban tahun kisah-kisah seperti ini saya temukan saat pengumuman kelulusan disampaikan. Sebuah keinginan, harapan, ataupun cita-cita dari seorang anak diputus begitu saja, lantaran terkendala biaya. Sungguh mengenaskan di Republik yang telah merdeka hampir 64 tahun lalu. Sungguh sebuah ironi nyata, di saat para pemimpin kita dengan gampangnya meluahkan kata-kata.

Mata Wajah Anakku

Oleh: Bahtiyar Zulal

Ketika aku memutuskan menjadi seorang guru, ada perasaan yang terasa begitu mengganjal, bukan lantaran aku tidak ingin menjadi seorang “guru” tetapi aku memandang profesi seorang guru itu adalah sebuah pilihan pekerjaan yang luar biasa beratnya, rasa tanggung jawab yang begitu besar dan harus menjadi sosok yang begitu sempurna baik di depan anak didik maupun di tengah masyarakat.

Dikeluargaku sebagian besar profesinya adalah seorang guru,Bapakku,pamanku, Kakekku baik dari Bapak maupun dari Ibu. dari mereka semua aku sedikit tahu dan sedikit mengerti tentang bagaimana suka dukanya menjadi seorang guru. tentu saja guru pada saat aku masih kecil dengan guru sekarang sangat jauh berbeda. dari penampilannya,gaya hidupnya sampai ikatan emosional antara guru-anak didik.

Di tahun-tahun pertama aku menjadi seorang guru perasan terberat yang aku rasakan adalah memastikan terkendalinya emosi, bagaimana tidak, karena sebelumnya selama ini aku selalu hidup di jalanan dan selalu pindah-pindah dari tempat satu ke tempat tinggal yang lain, dan dengan begitu tiba-tiba semuanya harus terhenti dan dibatasi dengan begitu banyaknya peraturan baik yang tertulis maupun peraturan dalam bentuk tata nilai di masyarakat. bahkan aku pernah mengalami suatu kondisi yang begitu kritis karena harus memilih antara terus atau berhenti. hanya karena aku merasa telah menentukan pilihan saja yang membuat aku malu jika disebut pengecut.

Tapi bagaimana aku bisa sekolah di keguruan ?, itu juga sebuah episode kehidupanku lagi, semua berawal dari ketidak pahamanku tentang sekolah, itupun baru aku sadari saat aku hampir selesai sekolah. semua berawal ketika aku masih sekolah di SMA (aku juga pernah sekolah di STM jurusan Mesin di kota Kertosona, Nganjuk) di Sekolah suwasta pada saat itu semua orang yang dipandang mampu mengajar bisa menjadi guru, tidak harus dari sarjana keguruan, Kepala sekolahku seorang Insinyur lulusan universitas Brawijaya Malang (Ir.Nanang Harsono), guru Kimiaku seorang Insinyur lulusan Institut Teknologi sepuluh Nopember/ITS Surabaya (Ir.Putu Indra Setiawan) begitu juga dengan guru Bahasa Inggrisku Beliau Orang yang lama tinggal di Malborne Australia (Saiful). suatu ketika guru Bahasa Inggrisku itu memberi tawaran kepadaku dan seorang temanku, jika dia bisa merekomendasikan aku dan temanku untuk bekerja di tempat kerjanya yang dulu asal bisa menguasahi Bahasa Inggris dengan baik, tentu saja kami berdua tertarik dengan tawaran itu, maka begitu kami lulus SMA pertama yang kami lakukan adalah mencari lembaga pendidikan Bahasa Inggris yang paling murah dan cepat, temanku pergi ke kota Pare, Kediri dan aku pergi ke Semarang karena pertimbangan biaya, aku mempunyai keluarga di Semarang, dan aku ikut test Sipenmaru mengambil berkas IPC karena SMA ku jurusan A2 (Imu-ilmu Biologi). pilihan pertama tentu saja Bahasa Inggris D2,pilihan kedua juga Bahasa Inggris dan pilihan ketiga tentu saja harus dari jurusan IPA maka aku isi saja dengan Fisika D2, singkat cerita: begitu pengumuman apa yang terjadi ternyata aku di terima di jurusan Fisika D2, tentu saja aku bingung apa yang harus aku lakukan ? (waktu itu aku belum mengerti bahwa IKIP itu sekolahnya calon guru, aneh kan ?) dan dengan pertimbangan sana-sini akhirnya aku tetap menjalani sekolah itu meskipun dengan perasaan agak berat, akhirnya rampung juga (sedikit cerita bahwa nilaiku waktu sekolah sebagian besar adalah pemberian Tuhan, hampir tanpa usaha) itulah sebabnya kenapa aku sampai sekarang begitu percaya dengan kekuatan do’a.

Setelah tiga tahun aku menjadi guru aku mulai sedikit mengerti bagaimna mestinya jadi seorang guru itu, semakin lama semakin membaik pemahamanku tentang profesi guru dan lama-lama aku begitu mencintai pekerjaanku. sebagai seorang guru satu hal yang aku tidak mengerti adalah perubahan kejiwaanku terhadap anak-anak didikku, aku semakin memiliki ikatan emosional yang sngat kuat terutama jika aku menjadi wali kelas. bukan hanya ketika masih mendampingi mereka tapi setelah mereka keluar dari sekolah. aku masih ingat banyak sekali kejadian pada waktu itu yang tidak pernah aku lupakan sampai sekarang, misalnya kejadian pada jam 12 malam ada orang ketuk-ketuk pintu rumahku, tentu saja aku sempat bertanya-tanya siapa malam-malam begini ketuk-ketuk pintu ?, begitu aku buka, apa yang aku saksikan ? dua orang anak sambil cengar-cengir bilang padaku ” Pak anak-anak sedang heking ke Desa Windurojo, Bapak sekarang di suruh kesana.!” tentu saja aku marah sekali waktu itu, bagaimana tidak ? Heking atas nama sekolah apa pribadi juga tidak tahu, ijin orang tua apa tidak ? bermalam lagi !, tapi apa jawab mereka ?,”Berangkat sekarang pak !” (lha dhalah ini anak !) tentu saja akhirnya aku mengalah. di kejadian yang lain aku pernah naik motor di Kajen dan kebetulan mogok di tengah jalan, tiba-tiba ada orang dari belakang menghampiriku dan bertanya ” Kenapa Pak ?” aku jawab “tidak tahu, tiba-tiba mogok ?” dia bilang “saya dorong ya Pak !, ke bengkel dekat situ kok !” “Ayo !” jawabku, sampai di bengkel orang itu mendekatiku kemudian bertanya “lupa sama saya ya Pak ?” “tidak !” jawabku (kelihatannya dia tidak yakin dengan jawabanku) dan dia menambahi pertanyaannya ” Aku murid bapak yang mbeling dulu !” (dalam batinku hanya bisa berkata ” SubkhanaLLAH..!!). sejak saat itu aku mulai mengerti dan menyadari kenapa para ahli pendidikan seperti Prof.Arif Rahman itu mengatakan jika seorang guru harus menghukum seorang anak hukuman fisik sekalipun ” Hukumlah dengan hati”. Karena anak-anak yang sekarang ini, yang terkadang kita lupa menyebutnya nakal, kurang ajar,tidak punya akhlak dan seterusnya itu ternyata jika telah datang tingkat ke’sadar’annya semua akan menjadi harta yang tidak ternilai harganya.

Sebenarnya ketika aku mengajar SMP 2 Talun, kebiasaanku dekat dengan anak-anak seperti itu akan berusaha aku hilangkan, karena keterbatasan waktuku dan tenagaku yang semakin habis di perjalanan begitu mengkhawatirkan, aku tidak mau anak-anakku’ itu menjadi terluka hatinya karena memang kondisiku yang tidak sanggup untuk di toleransi, walaupun naluri itu kadang-kadang muncul lagi tidak bisa dibendung,cerita anakku’ jazaul khoeroh dan anak kandungku tifani misalnya, Jazaul khoiroh adalah anakku’ yang paling pinter di Sekolah dalam hampir semua pelajaran, terutama pelajaranku (IPA) belum pernah mendapatkan nilai ulangan kurang dari 6, maka betapa kagetnya aku ketia try out tingkat Kabupaten kemarin mendapat nilai 3 untuk pelajaran IPA, ketika aku panggil aku hanya menanyakan ” sebenarnya ada apa ? ” dia hanya menjawab “iya Pak !” tetapi ternyata ceritanya belum selesai sampai disitu, ketika pengumuman kelulusan kemarin dia meraih nilai terbaik rata-ratanya lebih dari 8, tetapi anehnya dia tidak terlihat begitu gembira seperti teman-teman lainnya, dan akhirnya aku tanya ( pertanyaan yang sering aku sampaikan padanya ) “Bagaimana ?” jawabnya:”dia cuma menangis..!! ” aku tanya lagi “Soal biaya ya ?” dia menjawab dengan tatapan mata yang kosong “Iya Pak !” aku langsung menjawab ” kamu sekarang pulang !” karena aku tidak sanggup menatap “wajah mata anakku itu” dan hanya merintih sedih dalam hati “Ya ALLAH apa maksud-MU ?, tolonglah hambamu ini diberi pemahaman !” dan akhirnya dengan sisa tenagaku akupun pulang, bumi tempat ku berpijak rasanya bergoyang, melangkah terasa bagaikan terbang…, sedih… perih… sakit rasanya… ketika sampai di depan rumah kudapatkan anakku dengan wajah ketakutan “Abah… Aku gagal naik kelas..! maafkan aku..? akhirnya air mataku tak sanggup kutahan..!!

Hari-hari ini aku hanya sanggup memanjatkan do’a, membesarkan hati anak-anakku, ” Ya ALLAH jika semua itu terjadi karena keadilan-MU, berikanlah mereka kesabaran jiwa, berikanlah mereka keteguhan hati, berikanlah mereka kekuatan Iman, agar kelak dia menjadi manusia yang seluruh hidupnya hanya untuk mengabdi kepada-MU” tetapi jika semua itu terjadi karena lampiasan segelintir nafsu, aku mohon kepada-MU… Ya ‘Azis…aku mohon kepada-MU ya ‘ADHIM… aku mohon kepada-MU ya ‘ADIL… tunjukkanlah kepadaku keperkasaan-MU… tunjukkanlah kepadaku… keagungan-MU…Amin..! Amin..! Amin..!